PRAMOEDYA: WAJAH YANG BERBEDA BAGI INDONESIA

(Mengenang Pramoedya Ananta Toer, 30 April 2006-30 April 2009)

Oleh. Faris Wangge


Dia. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, wafat 30 April 2006, tiga tahun silam. Dalam kedamaian ia pergi. Di usia senja ia berpulang. Memutus anggapan tentang ajal hidup manusia. Ia representasi sebuah keberanian, meminjam Michael Foucoult “makhluk liar yang mengerikan”. Bagi penguasa, sosoknya mengerikan. Ia berani, terlampau berani, kritis dan progresif. Kematiannya yang alami menyiratkan pesan bahwa hidup dan kematian itu bukan kuasa kita manusia tapi kuasa Dia, Sang Pencipta.

Dihujat Di Negeri Asal, Dicintai Dunia
Hormat tunduk untuk dia, yang hingga ajal-menjemput, tetap konsisten dijalannya. Suatu ketika ia bicara “Ideologi yang ditanamkan dalam diri saya oleh keluarga saya, yaitu cinta akan keadilan, kebaikan, alam dan nasionalisme. Walaupun ideologi ini, yang ditanamkan dalam diri saya sejak usia muda, tapi ini masih terus hidup sampai kini. Jika saya mengakui kesalahan-kesalahan maka saya akan mengakuinya”.

Jabat erat untuk dia, yang karena keyakinan-keyakinannya itu, yang percaya pada jalan terbaik yang ditawarkan demokrasi, rela menerima hukuman pembuangan, pemenjaraan, penyekapan dan pengintain terus menerus. “Ya, kalau secara pribadi, saya sudah melewati masa-masa yang sulit. Saya mendapatkan kewarganegaraan saya tidak secara gratis, tetapi dengan perkelahian dan dengan resiko. Dan sekarang ini saya hidup di dalam hari depan saya. Hari depan saya adalah hari sekarang”. Ungkapnya.

Salam hangat dan doa bagi dia yang dihujat di negeri asalnya namun di cintai dunia. Karya-karya sastranya berceloteh jujur tentang sejarah bangsanya yang masih mengidap penyakit feodalisme, bermental budak, konsumerisme dan anti demokrasi hingga hari ini. “Satu-satu harapan saya saat ini, saya ingin lihat semua ini berakhir”. Serunya.

Sekilas Jejak
Dia, Pramoedya Ananta Toer. Dilahirkan di Blora, 06 Februari 1925. Setelah-tragedi kemanusiaan 1965, ia dipenjara selama 14 tahun (1965-1979) dibeberapa tempat, dengan tuduhan yang tak jelas dan ia sama sekali tak pernah diadili. Ia dipenjara di LP Salemba (13 Oktober 1965-Juli 1969), LP Nusakambangan (Juli 1969-16 Agustus 1969), Pulau Buru (Agustus 1969-12 November1979). Ia juga sempat mendekam selama satu bulan di Banyumanik, Magelang (November-Desember 1979).

Ia lalu "dibebaskan" pada 21 Desember 1979, namun tetap dikenakan wajib lapor sekali seminggu selama dua tahun, lalu sekali dalam setiap bulan. Berbelas tahun setelah "pembebasannya", ia masih terus dicurigai, dimata-matai, diintimidasi, dan "haram" disentuh atau sekadar didekati oleh "mereka yang mengaguminya”.

Inti Dari Keseluruhan Karyanya Adalah Nasib Rakyat
Suatu ketika Pramoedya bertutur “Saya berharap bahwa pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani.Berani. Lebih berani.”.

August Hans den Boef dan Kees Snoek menulis Pramoedya Ananta Toer adalah penulis yang karyanya berulangkali dianggap pantas mendapat Hadiah Nobel;. Sepanjang hidup aktivnya, bagi Mancanegara, ia berfungsi sebagai wajah yang berbeda bagi Indonesia. Reputasi itu tidak hanya berhubungan dengan sejarah perampasan buku-bukunya dan naskahnya atau dengan masa-masa yang dihabiskannya dalam kurungan, tapi juga oleh pendiriannya yang tetap dan sikapnya yang selalu berkepala tegak, baik pada masa dekolononisasi Belanda maupun pada masa pemerintahan Soekarno dan rezim Soeharto.

Akan tetapi, reputasi Pramoedya ini justru berakar pada keseluruhan karyanya. Karya-karyanya telah menciptakan gambaran tidak terhapuskan tentang tanah-air dan sejarahnya, dalam masa lalu yang jauh maupun dekat, dan inti karya itu adalah nasib rakyat. Rakyat dalam kehidupan sehari-hari, rakyat yang bertahan untuk mencari nafkah, rakyat yang dilukiskan dalam ambisi-ambisinya yang sering dikekang.

Sehari Sebelum May Day Ia Pergi
Dia. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, wafat 30 April 2006, tiga tahun silam. Dalam kedamaian ia pergi. Di usia senja ia berpulang. Memutus anggapan tentang ajal hidup manusia. Ia representasi sebuah keberanian, meminjam Michael Foucoult “makhluk liar yang mengerikan”. Bagi penguasa, sosoknya mengerikan. Ia berani, terlampau berani, kritis dan progresif. Kematiannya yang alami menyiratkan pesan bahwa hidup dan kematian itu bukan kuasa kita manusia tapi kuasa Dia, Sang Pencipta.

Waktu kematiannya penuh makna di ujung april, jelang 1 Mei, May Day hari buruh International. Kaum yang bersamanya tiada henti berjuang. Hingga akhir hayatnya ia tetap merasa terpenjara dan "merasa asing di negeri sendiri".

Pramoedya. Sastrawan yang melawan dengan pena, dari data dan pengalaman hidupnya. Ia sosok yang sangat inspiratif. Kini, tubuhnya telah menyatu dengan tanah, tetapi ia sesungguhnya tetap hidup dalam jiwa orang-orang merdeka. Kemerdekaan baginya harus mengandung nilai-nilai keadilan. “Kita haruslah berlaku adil sejak dari pikiran”. Ucapnya.

Di akhir catatan ini, sayapun teringat pada ungkapan Almarhum sahabat saya, Yudhis Muhammad Burhanudin. Lewat sajaknya, ia bertutur, “Berpikir. Sebebas angin meniup. Sebebas ikan menyelam ke dasar samudera. Sebebas cahaya menembus batas-batas langit.Berimaji. Sedasyhat ombak menghempas karang. Seteduh telaga. Pikir menyentuh sirat makna nurani. Imaji mengungkap simbol-simbol misteri”. HAI PEJUANG, SELAMAT JALAN!

Referensi Buku:

1. de Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. Jakarta, Komunitas Bambu, 2008
2. Burhanudin Muh, Yudhis. The Voice Of Eagle, kumpulan sajak. Perpustakaan pribadi, 2005.

Faris Wangge:
Pendiri Komunitas Waroeng KIRI (Seni, Sastra, Budaya) ; Journalis dan aktivis buruh.

19 Feb 2009

UNTUK SEORANG KAWAN


kawan,
tataplah usia kita pada tadi
kau pertama jejaki waktu yang kupunya
pada rumput liar yang sendiri,
pada wajah yang tak kau kenali

kawan,
perjamuan ini untukmu
mari bersamaku
temani laut, pantai, camar
bercerita tentang singgah
sebelum berangkat lagi
tentang mimpi mimpimu yang aneh malam tadi, tentang hidup yang biasa biasa saja
bagai laba laba bermata ungu
di sudut kamar itu
yang memintal untuk ada lalu tiada,
tiada lagi, untuk ada

kawan,
karang tak berjalan meski
kipas ombak menggodanya
camar adalah penuntun nelayan mencari ikan bukan elang; matanya dalam mengawas
bukan juga merpati,
karena hawa laut dapat membunuhnya

kawan,
roda waktu telah menggiring kita pada pagi
pagi yang kau tanya dalam angka yang dirajut laba laba tadi
angka yang ada lalu tiada, tiada lagi untuk ada

Faris Wangge (Komunitas Waroeng KIRI/Seni, sastra dan budaya)

Untuk para pejuang demokrasi

ADALAH KITA

Adalah Kita
Kupu Kupu Putih Kecil
Yang Setia temani Pucuk Kamboja sepi bukan Srigala buas pengais tulang pada pusara yang luka

Adalah Kita
Pelita berapi biru yang terangi gubuk singgah pengais sampah bagai
Kunang kunang ungu mungil bukan burung hantu yang patuh mengintai bulan

Adalah Kita
Yang berselimut terik siang bagai kilau butiran pasir sepanjang pantai bukan
sorot lampu serdadu pagi subuh yang datang ke rumah mesum tengah kota

Adalah Kita
Yang ada di jalan jalan kota setelah subuh tangan menenteng spanduk, poster dan pamflet pamflet putih


faris wangge (komunitas waroeng kiri/ seni, sastra dan budaya)

Untuk anak Aceh

AKU BOCAH ITU


Dulu…
Kala daun punggungi bulan.
Aku pelangi di uzur malam.
Wajahku biru lautan.
Bibirku lengking batu batu longsoran.

Aku.
Anak dahan pucuk kamboja.
Ibuku ranting senja, kembang pusara.
Ayahku nisan bangkai, rumah batu.
Aku dahan dahan yang tumbuh di tahun patah.
Mataku kerlap ungu pertapa.
Hatiku buih salju salju.
Di bulan pertama, malam bulan gerhana.
Aku serupa jeruji tali pengikat kilat.

Dulu…
Ketika angin memecah awan.
Aku.
Bocah yang kau pangku.
Tak pernah kembali.

Gatra, 07/02/2006
02.54 Wita (faris wangge)

(untuk Icha si bocah kecil)

PEREMPUAN ITU

Dayufarisalibertiaz
Suatu saat ia marah pada saya.
Saya membunuh semut.
Berhari-hari ia tak menegur saya.

Semut itu Guru kesaudaraan.
Biarkan saja mereka hidup.
Semut itu penjaga kehidupan. Katanya…

Ia indah bagai anggrek.
Tapi jangan memetiknya.
Tatap saja ia dalam-dalam.

Rasai saja harum tubuhnya.
Bunga itu pembebas penat. Katanya…

Dayufarisalibertiaz
Icha namanya.
Namaku.
Nama dia.
Nama kami.

Suatu saat Icha tak sekolah.
Sekolah itu penjara.
Bikin Icha terkurung.
Hidup Icha jadi murung.

Jadi…
Belajar saja pada kehidupan. Katanya…

Pagi tadi.
Icha bergegas menuju perangkap.

Tak kuat saya menahan laju tubuhnya.
Papa tak usah cemas.
Seluruh tahanan akan dibebaskan. Katanya….

(faris wangge/2004-komunitas waroeng kiri)